Ada masa dimana kita akan
mandiri dengan sendirinya. Bukan karena tuntutan orang sekitar kita, tapi
karena memang sudah waktunya kita menyadari bahwa kita harus berdiri dengan
kaki sendiri, atas segala masalah yang menghampiri. Ketika masa itu datang,
kita baru akan benar-benar bangun, membuka mata, dan melihat dengan segala
dengan “Oh, inikah hidup?”. Lalu semesta menyebut itu sebagai masa; De-wa-sa.
Masa yang membuat kita tiba-tiba mengerti tentang banyak aturan yang tak
tertulis.
Contohnya saja, ada aturan
lain yang akan kita pahami dengan sendirinya, seperti : berapa umur yang kita
punya, menentukan problem apa yang akan kita hadapi. Berapa hak yang kita
punya, menuntut kewajiban apa yang telah kita beri. Booommm !!! ini level
kehidupan macam apa ?
Sungguh ini adalah umur dan
masa yang paling mengerikan. Umur yang selalu memaksa kita untuk tidak menjadi
diri sendiri, untuk menutupi segala hal yang tak menyenangkan diri. Penuh drama
membosankan, kepura-puraan, senyum penyembunyi kesedihan, tawa pembungkus
kepedihan, seperti actor actor yang harus mengikuti skenario yang tidak sesuai
dengan kepribadian. Boommm !!! ini prilaku hidup macam apa ?
Atau apakah mungkin menjadi
dewasa sama dengan menjadi aktor kehidupan ? oleh karenanya, aku harus
menghilangkan kebiasaanku; bermain dibawah derasnya hujan, bermain dipinggir
pantai seharian, sampai melupakan kebiasaan melihat matahari tenggelam. Sebab
skenario hidup memaksa kita untuk melakukan banyak hal yang katanya lebih
penting dari sekedar bermain. Untuk menjadi actor dewasa, kita dipaksa untuk
tidak banyak main. Boommm !!! ini lingkungan hidup macam apa ?
Sejak aku menyadari bahwa;
usia ku sudah dua tahun melebihi batas umur masuk bioskop kategori dewasa.
Banyak curhatan teman yang sudah mulai memikirkan kebahagiaan dihari nikah.
Apakah itu berarti aku benar-benar sudah berada dikalangan orang-orang dewasa ?
sungguhkah ? astaga, sungguh menyebalkan mengetahui kenyataan bahwa itu fakta.
Teman-temanku ? karib-karibku ? lingkunganku ? kesibukanku ? Semuanya membuat
anak-anak kecil hampir tak terlihat. Sampai untuk mengobati diri dari kerinduan
bermain dengan anak kecil saja, mungkin aku harus menjadi seorang relawan pendidik
anak sekolah, mengikuti organisasi bakti social warga, hingga mengikuti
kegiatan amal dipanti asuhan.
Aku lebih suka mengejar layangan, ketimbang mengejar kebahagaiaan.
Aku lebih suka merengeki ibu karena laper, daripada mendongkoli gebetan karna baper.
Aku lebih suka mengartikan cinta dengan bermain bersama, bukan berduaan lama lama.
Aku tak suka menganggap uang adalah masalah besar diakhir bulan.
Aku tak suka mulai banyak berfikir tentang wanita pendamping hidup dimasa depan.
Dan aku tak suka memenuhi kepala dengan kerinduan pada orangtua di kampung halaman.
Tidak hanya itu. Tapi ada pula hal-hal yang tidak kalah menjijikkan dari kehidupan orang orang di masa ini, yaitu ketika orang-orang dewasa dengan perilaku kekanak-kanakan. Aku sering terlihat seperti anak-anak. Tapi yang kumaksud kekanak-kanakan mereka adalah ketika mereka mulai membentuk sebuah hubungan yang mereka sebut cinta, kasih, ketek monyet, dan apalah itu.
Lalu kemudian setelah
mengalami banyak perubahan dan pendewasaan diri, rasa maupun akal, akan timbul
pertanyaan-pertanyaan baru mengenai “apa yang sudah aku perbuat hingga usia
saat ini?” Entah untuk diri sendiri, lingkungan, teman atau sahabat, dan
terlebih orang tua maupun keluarga.
Proses beranjak menjadi dewasa sedang berlangsung ketika kita
sadar akan tanggung jawab yang semakin besar. Mengenai, masa depan.
Kemudian terus menerus berupaya untuk belajar berpikir, bersikap, bertutur
kata, dan bahkan mengambil keputusan dengan menggunakan logika dan hati
meskipun keduanya merupakan dua yuridiksi yang berbeda.
Pada segala keputusan
benar salah yang mungkin selalu ditemukan, jangan lupa libatkan Tuhan diantaranya. Seriously, in life there are
only two options, yes or no. Tapi, yang membuat kita
terlihat memiliki banyak pilihan adalah ketika kita memilih, maka akan timbul
pilihan-pilihan lain lagi yang tidak akan berhenti hanya dengan sebuah
keputusan yang sudah kita ambil.
Itu baru fase ketika awal-awal memasuki bangku perkuliahan.
Belum lagi nanti ketika sudah dihadapkan dengan skripsi yang tidak sedikit
membuat orang-orang menyerah di tengah jalan kemudian berkata “udah ah mau nikah aja. udah ah
capek kalo gini terus, mending kerja aja” Itu
hal yang lumrah akan terdengar ketika skripsi tak kunjung selesai. Apa yang
kamu dapatkan ketika prosesnya? Kerja keras dan belajar untuk menuntaskan
tanggung jawab kepada orang tuamu.
Lalu, akan ada masa graduation yang nampak seperti finally,
semuanya selesai. But please, itu belum ada apa-apanya. How about finding a job? Ketika
ternyata idealisme yang selama ini kita yakini semasa kuliah ternyata tidak
bisa sepenuhnya diterapkan di kehidupan nyata. Bagaimana pahitnya ditolak oleh
perusahaan yang selama ini mungkin kita idam-idamkan. Kemudian merasa gagal,
sudah lelah menempuh kuliah tapi mencari pekerjaan tak semudah membalik telapak
tangan. Pelajaran lagi bukan yang didapatkan? Pelajaran mengenai hingga titik
mana kita mau memperjuangkan hidup yang kita miliki saat itu.
Bagaimana
menyingkirkan ego bahwa meraih mimpi tidak akan berjalan mulus begitu saja.
Hingga akhirnya ketika kita diterima bekerja di suatu perusahaan
yang notabene belum sesuai mimpi kita, kita harus belajar menguatkan diri
sendiri. Belajar menjalani pekerjaan yang mungkin belum sesuai dengan hati
nurani. Legawa. Atau mungkin bagi yang
langsung mendapatkan pekerjaan sesuai apa yang dimau juga tidak akan lepas dari
tantangan baru, tantangan mengenai bagaimana di setiap harinya bisa
menghasilkan hal-hal yang terbaik dan lebih baik dari hari sebelumnya.
Proses mendewasakan diri terus berlanjut. Hingga kemudian kita
akan berpikir bagaimana mengatur keuangan, menginvestasikan sebagian
penghasilan yang ada untuk keperluan di masa yang akan datang atau keperluan
yang tiba-tiba mendesak. Lalu berpikir mengenai kesahatan, karena mulai sadar
bahwa metabolisme tubuh saat ini tidak akan terus menerus prima. Mulai belajar
menghargai tubuh dengan memberi asupan gizi yang baik namun dengan budget yang
sekiranya tetap bisa membuatmu melakukan aktivitas yang kamu senangi.
Lalu, setelah beberapa
pemaparanku di atas tadi. Kebayang repotnya? Hahaha. Yap, itu hanya teori dan
pemikiranku sendiri yang tidak membutuhkan pembenaran ataupun sanggahan.
Karena, kita semua mengalami fase mendewasakan diri yang berbeda-beda.
Okay just relax, in the end, experience will change you to be a
better ‘YOU’
Tidak akan ada lagi drama
engga penting dalam hidup kita. Semakin dewasa, maka kita akan semakin belajar
menghadapi semuanya dengan kepala dingin. Rasionalitas dengan sendirinya akan
mengalahkan emosi dan egoisme. Hidup ini sudah cukup melelahkan dengan segala
rutinitasnya. Pada akhirnya kita hanya ingin punya hidup yang tenang dan
terkendali serta dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi
ini. Itu saja. Perlahan, kita tidak akan lagi keras kepala atas apa yang kita
inginkan. Sekarang, kita akan lebih menerima jika ada hal yang tidak berjalan
sesuai rencana. Karena kita yakin, bahwa ada hal-hal yang memang sudah
ditakdirkan dan pasti akan terjadi. Sementara beberapa hal lain, yang tidak
tertulis dalam takdir, sudah sepatutnya untuk diikhlaskan.
Kemudian kita akan mulai
mempercayai kekuatan besar di luar diri kita sendiri yang akan menjadi penentu
kemana hidup ini akan berjalan kemudian. Demi menciptakan ketenangan dalam
hidup, sadar ataupun tidak kita akan semakin mendekatkan diri pada Tuhan lewat
berbagai cara.
From Tumblr Fatamorgananyata & Hujanmimpi